Menjelang kematian Abu Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat menginginkan kebaikan bagi pamannya itu mengatakan, “Wahai pamanku, ucapkanlah ‘la ilaha illallah; sebuah kalimat yang akan kujadikan pembela bagimu di sisi Allah.” (HR. Bukhari). Namun, ternyata pamannya enggan dan tetap memilih agama Abdul Muthallib -yaitu memuja berhala- sehingga pupuslah sudah harapan Nabi untuk menyelamatkan pamannya dari siksa neraka.
Saudaraku, kalimat syahadat ini sudah sangat kita kenal. Setiap hari kita mendengar panggilan adzan dan kalimat ini selalu diulang-ulang. Namun sayang, masih banyak saudara kita yang belum memahami makna kalimat ini dengan benar. Contohnya; mereka memaknai bahwa la ilaha illallah artinya tidak ada pencipta selain Allah. Pada hakikatnya pernyataan tidak ada pencipta selain Allah adalah sesuatu yang benar, kita tidak memungkirinya sama sekali. Namun, itu bukanlah makna dari la ilaha illallah. Kok bisa demikian? Coba perhatikan bagaimana jawaban orang-orang musyrik dahulu ketika ditanya tentang pencipta mereka, pencipta langit dan bumi, pemberi rezeki kepada mereka dari langit dan bumi, mereka menjawab, ‘Allah’.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka; siapakah yang menciptakan langit dan bumi serta yang menundukkan matahari dan bulan, pasti mereka menjawab, ‘Allah’. Maka mengapa mereka bisa dipalingkan (dari kebenaran).” (QS. Al-Ankabut : 61).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ”Katakanlah : Siapakah yang memberikan rezki kepada kalian dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa menciptakan pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan. Maka niscaya mereka akan menjawab : Allah.” (QS. Yunus : 31).
Hal itu menunjukkan bahwa sekedar mengakui pencipta alam ini hanya Allah belumlah memasukkan ke dalam Islam. Padahal, kita mengetahui bersama bahwa yang menjadi kunci masuk ke dalam Islam adalah kalimat syahadat ini. Kalaulah makna syahadat hanya semacam itu saja niscaya orang-orang kafir dahulu tidak perlu diperangi oleh Nabi. Kita juga ingat, dahulu ketika mengutus sahabatnya Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ke Yaman untuk berdakwah, beliau berpesan, “Jadikanlah seruan yang pertama kali kamu sampaikan syahadat la ilaha illallah dan Muhammad rasulullah…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Lalu apakah makna kalimat yang mulia ini? Maknanya sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama yaitu la ma’buda bihaqqin illallah; tidak ada sesembahan yang benar selain Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Demikian itulah, karena hanya Allah lah (sesembahan) yang haq, sedangkan segala sesuatu yang disembah selain-Nya adalah batil.” (QS. Al-Hajj : 62). Sehingga kalimat ini menuntut kita untuk menyembah hanya kepada Allah ta’ala dan mengingkari segala sesembahan selain-Nya; entah itu malaikat, nabi, orang salih, jin, matahari, pohon, apalagi batu.
Oleh sebab itu orang yang mengucapkan la ilaha illallah harus meyakini bahwa segala bentuk ibadah; entah itu shalat, puasa, nadzar, sembelihan, meminta perlindungan dan keselamatan, dan lain sebagainya hanya boleh ditujukan kepada Allah. Hal ini sebagaimana Allah ta’ala perintahkan di dalam ayat (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (QS. An-Nisaa’ : 36). Orang yang beribadah kepada selain Allah pada hakikatnya dia telah melanggar larangan Allah yang paling besar ini. Akibat dari melanggar larangan ini, Allah akan menghukumnya di dalam neraka selama-lamanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mempersekutukan Allah dengan sesembahan lain maka sungguh Allah haramkan surga baginya dan tempat kembalinya adalah neraka…” (QS. Al-Maa’idah : 72)
Dengan demikian, sudah semestinya seorang muslim yang mengikrarkan syahadat ini memahami bahwa kunci keselamatan dan kebahagiaan hidupnya adalah dengan melaksanakan kandungan kalimat ini dengan sungguh-sungguh; yaitu mempersembahkan segala bentuk ibadah, penghinaan diri, ketundukan serta pengagungan yang dilandasi kecintaan yang paling dalam kepada Rabb alam semesta saja, bukan kepada makhluk yang -memang- tidak menguasai kemanfaatan dan kemudharatan -walaupun setipis kulit ari- apalagi menghidupkan dan mematikan… Alangkah malang dan mengenaskan, nasib para pemuja selain-Nya. Allahu waliyyut taufiq.